Oleh : Tanty S. Thamrin, peneliti pada Thamrin Working Group
Konflik berdarah di Poso memang usai secara formal pada 2001. Tapi bagi banyak perempuan yang mengalami langsung horor kekerasan sektarian, perdamaian itu belum benar-benar hadir.
Deklarasi Malino II menghentikan tembakan dan pembantaian. Namun trauma kolektif, segregasi sosial, dan ketimpangan struktural masih menjadi bagian kehidupan sehari‑hari warga—terutama perempuan. Ironisnya, mereka yang menjaga perdamaian komunitas sering kali diabaikan oleh narasi resmi dan program formal yang menyebut diri “pembangunan damai”.
Agenda global Women, Peace and Security (WPS)—berbasis Resolusi 1325 PBB—berusaha mendorong partisipasi perempuan dalam proses perdamaian dan memberikan perlindungan dari kekerasan. Tetapi jika pendekatan global ini gagal memahami realitas perempuan lokal, pertanyaannya adalah: seberapa efektifkah implementasinya di wilayah seperti Poso?
Apakah Kehadiran Perempuan Juga Berarti Kekuasaan?
Beberapa program WPS, seperti Peace Village Initiative UN Women dan Wahid Foundation, menyebut lebih dari 65% anggota kelompok kerja perdamaian desa adalah perempuan. Namun kehadiran angka saja tidak memastikan suara mereka bersuara secara nyata.
Dalam banyak kasus, perempuan hanya ditempatkan di posisi administratif. Keputusan strategis dan pengalokasian sumber daya tetap berada di tangan struktur lama yang didominasi laki‑laki. Mereka hadir—tetapi tak memiliki kekuasaan yang substansial. Ini bukan inklusi sejati, melainkan simbolisme.
Kekerasan Tak Selalu Berbentuk Senjata
Kekerasan tidak selalu datang lewat senapan. Di Poso, banyak perempuan korban konflik tidak memperoleh layanan psikologis yang memadai. Stigma terhadap penyintas tetap tinggi. Akses pendidikan dan peluang ekonomi masih timpang.
Menurut BPS Provinsi Sulawesi Tengah, Indeks Pembangunan Gender (IPG) tahun 2020 tercatat 91,87, sedikit menurun dari tahun sebelumnya sulteng.bps.go.idsulteng.bps.go.id. Indikator ini menunjukkan meski representasi gender relatif tinggi, akses riil perempuan terhadap layanan dan posisi kekuasaan belum menyentuh akar struktural. Sementara itu, persentase penduduk miskin di Kabupaten Poso pada Maret 2024 tercatat 11,77%, dengan sekitar 379.760 jiwa posokab.bps.go.idposokab.bps.go.id. Ini menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi tetap menjadi faktor struktural yang menekan perempuan pasca konflik. 1 dari 4 perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual. Satu dari sepuluh mengalami kekerasan dari pasangan. Ini menunjukkan betapa pentingnya pendekatan protektif yang sistemik, termasuk di wilayah pascakonflik seperti Poso.
Inilah yang disebut Johan Galtung sebagai kekerasan struktural—kondisi sosial yang menempatkan sebagian kelompok dalam kerentanan terus-menerus, tanpa harus disakiti secara langsung. Pendekatan WPS formal jarang membaca realitas ini. Fokusnya masih pada pelatihan administratif dan pelaporan program. Padahal, sistem ketidakadilan yang melanggengkan trauma jauh lebih kompleks dan membutuhkan pembongkaran struktur sebab luka struktural dan trauma tidak bisa diselesaikan hanya dengan modal indikator kuantitatif.
Apakah Pendekatan Global Mengabaikan Praktik Lokal?
Banyak program WPS dijalankan lewat logika proyek: target kuantitatif, pelaporan berkala, dan indikator yang terukur. Namun praktik solidaritas komunitas—dialog lintas agama, rekonsiliasi ritual, penyembuhan bersama—tidak bisa diukur lewat angka semata. Di tengah struktur formal, banyak inisiatif lokal justru berkembang di luar radar
Mosintuwu Institute menjadi contoh bagaimana inisiatif lokal mengembangkan perdamaian dari bawah: ruang dialog lintas agama, kelompok ekonomi komunitas, dan forum penyembuhan budaya. Praktik ini lahir dari pengalaman komunitas, bukan proyek donor. Mungkin kurang sesuai dengan format pelaporan global, namun di sanalah kerja perdamaian yang efektif terjadi.
Perempuan Poso Tak Menunggu Diundang: Mereka Membangun Damai Sendiri
Alih-alih menjadi objek dari program, perempuan di Poso telah menjadi arsitek perdamaian komunitas mereka. Mereka memimpin tanpa jabatan formal, memulihkan tanpa instruksi lembaga. Mereka bekerja lewat jaringan sosial, kepercayaan, dan pengalaman kolektif. Contoh kekuatan lokal terlihat dalam Sekolah Perempuan yang digagas Mosintuwu.
Sejak 2010, lebih dari 500 perempuan dari 70 desa telah belajar bersama dan kembali ke komunitas mereka sebagai relawan perdamaian. Martince Baleona, salah satu alumni, mengingat perubahan yang ia alami: “Barulah setelah kami saling mengunjungi rumah ibadah yang berbeda, es yang membekukan kami mulai mencair. Kami belajar peduli lagi.”
Mereka tahu bahwa trauma tidak disembuhkan lewat dokumen kebijakan, tapi lewat pelukan, dialog, dan pengakuan. Mereka tidak menunggu undangan konferensi untuk bicara—karena mereka sudah lama bicara, satu sama lain, dalam bahasa keberanian dan keteguhan.
Saatnya Mendengar, Bukan Hanya Mengatur
Perempuan di Poso bukan hanya objek inisiatif—mereka adalah arsitek perdamaian komunitas. Mereka membangun dialog, ekonomi solidaritas, dan rekonsiliasi tanpa instruksi formal. Transformasi sosial lahir dari akar, bukan dari format global saja.
Sudah saatnya agenda WPS dikaji ulang, bukan untuk ditolak, tetapi untuk disesuaikan dengan konteks lokal. Perempuan bukan sekadar “partisipan”. Mereka adalah pemilik strategi, penutur narasi, dan penjaga damai komunitas.
Reformulasi WPS berarti mendengarkan lebih dalam. Melepaskan ego format global. Mengakui bahwa transformasi sosial lahir dari akar—bukan dari atas. Perempuan Poso sudah membuktikannya.
Kini pertanyaannya: apakah kita siap mendengarkan mereka—bukan hanya dalam forum, tetapi lewat kebijakan yang nyata dan kontekstual?
Tentang Penulis
- Artikel ini ditulis oleh Tanty S. Thamrin, peneliti pada Thamrin Working Group. Tulisan ini merupakan bagian dari analisis Feminist Security Studies focus pada konflik dan bencana di wilayah timur Indonesia pada Program Studi Ilmu Sosial Program Doktor Universitas Tadulako.
- Opini dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi suarakata.id.
Tinggalkan Balasan