JAKARTA, Suarakata.id – Di tengah tekanan global, ancaman krisis pangan, dan ketidakpastian ekonomi, sektor pertanian Indonesia menghadapi tantangan serius. Penurunan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), alih fungsi lahan, serta tekanan inflasi pangan menjadi gejala yang tak bisa lagi diabaikan.
Menyadari urgensi tersebut, Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) menggelar Seminar Nasional Transformasi Ekosistem Pertanian, pada Selasa, 29 Juli 2025.
Seminar ini merupakan bagian penting dari program Pendidikan Penyiapan dan Pemantapan Pimpinan Nasional (P4N) LXVIII Tahun 2025, dan digelar di Ruang Gadjah Mada, Gedung Pancagatra Lt. III Lemhannas RI, Jakarta Pusat, mulai pukul 08.00 WIB.
Dengan tema besar: “Transformasi Ekosistem Pertanian Guna Mendukung Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Nasional,”
Agenda ini mengundang tokoh-tokoh penting lintas sektor mulai dari pejabat Lemhannas RI, Menteri Koordinator Bidang Pangan, Menteri Pertanian, hingga para pemangku kepentingan lainnya.
Seminar ini menjadi panggung strategis untuk menjawab pertanyaan mendasar: Apakah pertanian Indonesia masih bisa diandalkan sebagai pilar ketahanan nasional?
Empat narasumber ahli memaparkan persoalan dari berbagai dimensi, masing-masing, produktivitas lahan yang stagnan, gangguan distribusi akibat infrastruktur yang belum merata, hingga kelemahan data pangan nasional.
Tak ketinggalan, peran hilirisasi pangan dan kebijakan fiskal juga turut dibahas sebagai elemen vital dalam mengurai kompleksitas sektor ini.
Dalam forum ini, salah satu narasumber utama adalah Firman Mochtar dari Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia. Ia membawakan paparan berjudul “Peran Sektor Pertanian dalam Mendukung Ketahanan Ekonomi Nasional dan Implikasi Kebijakan”.
Firman menyoroti bagaimana sektor pertanian selama ini menjadi jangkar stabilitas ekonomi nasional, khususnya dalam hal serapan tenaga kerja dan kontribusi terhadap ekspor domestik. Namun kini, sektor tersebut menghadapi tekanan berat.
“Pangsa sektor pertanian terhadap PDB terus menurun dalam lima tahun terakhir. Tapi ironisnya, ini masih menjadi penyerap tenaga kerja tertinggi. Artinya, jika tidak diperkuat, dampaknya bisa langsung ke rakyat bawah,” tegas Firman dalam sesinya.
Ia juga mengungkap bahwa sektor pertanian memiliki kaitan erat (backward & forward linkage) dengan industri nasional. Oleh karena itu, memperkuat pertanian berarti juga mendorong ekosistem ekonomi secara menyeluruh.
“Kami di Bank Indonesia melihat urgensi besar untuk memastikan ketahanan pangan nasional sebagai bagian dari ketahanan makroekonomi. Maka, kebijakan bauran moneter kami juga diarahkan untuk mendukung sektor ini,” tambah Firman.
Rektor IPB University Prof. Dr. Arif Satria, yang dikenal sebagai akademisi pertanian dan ahli kebijakan pangan. Dalam paparannya, Arif menekankan pentingnya memandang pertanian sebagai kekuatan geopolitik dan bukan semata urusan ekonomi produksi.
“Transformasi ekosistem pertanian itu menyangkut banyak hal: dari kebijakan pangan, modernisasi alat, reformasi distribusi, hingga membangun ekosistem kelembagaan petani. Tanpa pendekatan sistemik, pertanian akan terus terpinggirkan,” tegasnya di hadapan peserta seminar.
Menurutnya, Indonesia harus beralih dari pendekatan “produksi sentris” ke “ekosistem sentris” dengan memperkuat rantai nilai dan distribusi hasil panen yang adil. Hilirisasi pangan, menurut Arif, adalah jantung dari transformasi itu.
Sementara itu, dari Lemhannas RI Mayjen TNI Dr. Farid Makruf, M.A., Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Strategi Ketahanan Nasional Lemhannas RI memberikan perspektif strategis mengenai ketahanan nasional dari sisi pangan.
“Ketahanan nasional tidak bisa hanya dijaga dengan alutsista atau strategi militer. Ketahanan pangan adalah bagian dari strategi pertahanan negara yang tak kalah penting. Ketika harga pangan tak stabil, dampaknya bisa langsung terasa di rakyat, bahkan berpotensi memicu instabilitas sosial,” ujarnya seusai kegiatan.
Ia menambahkan bahwa penting bagi negara untuk membangun sistem pangan nasional yang kuat, tangguh, dan tahan krisis. Peran pemerintah daerah, menurutnya, menjadi kunci dalam pelaksanaan kebijakan nasional di lapangan.
Data yang disampaikan dalam seminar menggambarkan kondisi riil yang cukup mengkhawatirkan. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB nasional terus menurun, bahkan beberapa subsektor strategis seperti perkebunan ikut tergerus.
Di sisi lain, tren alih fungsi lahan pertanian semakin masif, menjadikan produktivitas pertanian tak lagi stabil seperti dekade sebelumnya.
Namun, sektor ini tetap menjadi penyerap tenaga kerja terbesar, terutama di luar Pulau Jawa. Artinya, meskipun secara ekonomi mulai terpinggirkan, sektor pertanian masih memiliki fungsi sosial yang sangat penting.
“Kalau dibiarkan, ini bisa menjadi ledakan sosial. Sebab petani kehilangan daya tawar dan pendapatan, sementara biaya hidup terus naik,” ujar salah satu peserta diskusi dari kalangan akademisi.
Inflasi Pangan, Tantangan Lama yang Belum Usai
Komoditas pangan seperti beras, cabai, dan bawang merah kembali menjadi penyumbang utama inflasi nasional. Sepanjang 2024, komoditas ini berulang kali memicu lonjakan Indeks Harga Konsumen (IHK), yang meskipun pada 2025 terkendali di angka 2,5% ±1%, tetap menyisakan masalah struktural di lapangan.
Sebagai respons strategis, Bank Indonesia bersama Kementerian terkait menggagas Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP). Gerakan ini berfokus pada integrasi data pangan, efisiensi distribusi, dan penguatan cadangan pangan daerah.
Empat pilar utama GNPIP mencakup: Keterjangkauan harga (K1), Ketersediaan pasokan (K2), Kelancaran distribusi (K3), Komunikasi efektif (K4).
Langkah-langkah konkret pun dipetakan, termasuk digitalisasi pasar, penguatan kelembagaan petani, dan optimalisasi rantai logistik dengan dukungan teknologi.
Untuk mendorong transformasi sektor pertanian, pemerintah menyalurkan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KILM) melalui Bank Indonesia, dengan total dana mencapai Rp 376 triliun hingga Juli 2025. Dari total tersebut, Rp 122,5 triliun dialokasikan untuk sektor pertanian, perdagangan, dan industri.
Dukungan ini juga diperkuat dengan strategi Three-Pronged Hilirisasi, yakni: Prioritisasi Komoditas Strategis. Penguraian Hambatan Kebijakan (Debottlenecking) dan Penguatan Kebijakan Daerah untuk Hilirisasi
Tujuannya sederhana tapi fundamental: mengubah sektor pertanian dari sekadar penghasil bahan mentah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi berbasis nilai tambah.
Seminar ini membuktikan bahwa Lemhannas RI tidak tinggal diam di tengah ancaman krisis pangan dan ekonomi. Dengan menghadirkan lintas sektor dan kalangan peserta dari TNI/Polri, ASN, hingga umum, forum ini menjadi wadah strategis membangun kesadaran kolektif bahwa pertanian adalah sektor kunci bagi ketahanan bangsa.
“Ini bukan akhir, tapi awal dari gerakan besar untuk membangun ekosistem pertanian yang lebih tangguh dan berkelanjutan,” tambah Farid Makruf. (*)
Tinggalkan Balasan