MADURA, Suarakata.id – Suasana rumah sederhana di Petrah, Tanah Merah, Madura, terasa hangat pagi itu. Di halaman yang teduh, seorang pria berbadan tegap mendorong perlahan kursi roda sang ayah.

Senyum tipis terukir di wajahnya, sesekali ia menunduk, menyapa ayahnya. Tangannya mantap memegang gagang kursi, namun gerakannya lembut, seperti ingin memastikan setiap roda berputar tanpa guncangan.

Pria itu adalah Mayjen TNI Dr. Farid Makruf, M.A., Bagi pasukannya, ia adalah komandan yang tegas, pernah memimpin operasi besar dan duduk di meja perundingan internasional.

Tapi dihadapan ayahnya, ia hanyalah Farid, anak yang setiap akhir pekan pulang, menempuh ratusan kilometer dari Jakarta ke Madura demi menginap sehari semalam di rumah orang tuanya.

Bagi Farid, menginap sehari semalam di rumah orang tuanya bukan sekadar rutinitas, melainkan janji tak tertulis pada dirinya sendiri.

Ia menemani sang ayah yang sudah lama terkena stroke. Kadang memboyongnya keluar kompleks, membiarkan wajah ayahnya tersapu udara pagi Madura, atau memutar lagu-lagu kesayangan sang ayah.

“Pintu surga saya ada pada kedua orang tua,” ucapnya lirih suatu ketika.

Di ruang tamu, Farid duduk bersila di lantai. Ia tertawa kecil saat mengajak ayahnya bercanda. Wajahnya yang biasa terlihat tegas di barisan pasukan kini tampak lembut.

Sorot matanya menyimpan rasa hormat, syukur, sekaligus cinta yang tak lekang waktu. “Setinggi apapun jabatan, di depan orang tua, kita hanya seorang anak,” katanya.

Di dalam rumah, aroma masakan memenuhi udara. Usai menemani sang ayah berkeliling di halaman rumah, Farid menuju dapur Ia berdiri di belakang ibunya yang sedang menyiapkan makanan di meja.

Tubuhnya yang tegap kontras dengan sosok ibunya yang renta namun cekatan. Tanpa banyak kata, ia memperhatikan gerakan tangan ibunya, seolah sedang menyerap setiap detik momen itu. Tangannya kadang menepuk lembut punggung sang ibu.

Perjalanan hidup Farid memang panjang. Ia menapaki karier dari lorong-lorong sempit desa hingga panggung diplomasi internasional. Lulus dari SMA 1 Bangkalan, ia masuk Akademi Militer, lalu meraih gelar Master bidang Security Study dari University of Hull, Inggris, pada 1998.

Tahun 2003–2004, saat berpangkat Kapten, Farid dikirim ke Sierra Leone dalam misi perdamaian PBB (UNAMSIL). Di sana, ia melihat langsung luka perang dan belajar arti kemanusiaan.

Tahun 2018, saat Lombok diguncang gempa, ia memimpin Kogasgabpad membangun 47.000 rumah bagi korban. Pada 2020–2021, ia menjabat Danrem 132/Tadulako dan memimpin langsung Operasi Madago Raya memburu pimpinan MIT, Ali Kalora. Ia juga pernah menjabat sebagai Pangdam V Brawijaya.

Tak berhenti di medan tugas, Farid juga menorehkan prestasi akademik. Tahun 2024, ia meraih gelar Doktor Ilmu Sosial dari Universitas Tadulako dengan IPK 3,99, diselesaikan hanya dalam 1 tahun 11 bulan 5 hari. Saat ini Ia sedang mengemban amanat sebagai Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Sumber Kekayaan Alam Lemhannas.

Namun semua capaian itu, kata Farid, tak akan pernah ada tanpa restu orang tua. “Saya berdiri di sini bukan karena keajaiban, tapi karena kerja keras dan doa orang tua,” ujarnya, tersenyum.

Bagi seorang jenderal seperti Farid, pangkat dan medali hanyalah tanda perjalanan. Tapi pelukan orang tua itulah kemenangan yang sesungguhnya. Itulah sebabnya Ia tak pernah melewatkan akhir pekan bersama kedua orang tuanya. (*)