OLEH : TANTY SR THAMRIN

 

LOMBOK, Suarakata.id – Gunung Rinjani di Lombok bukan sekadar destinasi pendakian. Ia adalah ruang ekologis yang kompleks, tempat di mana lanskap fisik, spiritual, dan sosial bertemu. Seperti banyak lanskap ekstrem lainnya, Rinjani telah lama dibingkai dalam imajinasi publik sebagai ruang uji ketangguhan yang bersifat maskulin sebuah arena fisik dan mental yang menuntut daya tahan, teknik, dan kekuatan, yang umumnya dilekatkan pada tubuh laki-laki.

Narasi ini tidak lahir dari kekosongan, melainkan dibentuk dan direproduksi melalui sistem sosial, budaya, dan industri wisata yang secara historis menempatkan perempuan dalam posisi periferal terhadap kerja-kerja teknis di ruang alam liar.

Menggeser Narasi Maskulin melalui Lensa Ecofeminisme

Ketika medan ekstrem dipertemukan dengan identitas kerja, tubuh perempuan kerap dikerdilkan oleh narasi “kerentanan”, “kelemahan”, atau “ketidakmampuan teknis”.

Di sinilah muncul ruang intervensi radikal dari komunitas perempuan lokal yang hidup berdampingan dengan gunung bukan untuk menaklukkannya, tetapi untuk merawat, membimbing, dan berelasi dengannya.

Kehadiran Rinjani Women Adventure (RWA) kelompok pemandu perempuan dari Desa Senaru, Lombok Utara—membalik logika dominan tersebut. Berdiri sejak 2002 sebagai bagian dari Rinjani Women Guide Association (RWGA), organisasi ini kini beranggotakan lebih dari 70 perempuan, semuanya telah mengantongi sertifikasi resmi dari Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia.

Mereka memandu wisatawan tidak hanya sampai ke puncak Rinjani, tetapi juga ke desa adat, jalur hutan, dan kawasan konservasi, sambil menyampaikan narasi ekologis dan sosial yang berakar pada pengalaman mereka sebagai perempuan yang hidup berdampingan dengan alam.

Penting untuk menginterogasi asumsi bahwa medan ekstrem secara inheren lebih cocok bagi laki-laki. Narasi umum bahwa ruang alam liar adalah “ujian kekuatan” bagi tubuh maskulin menyederhanakan sejarah keterlibatan perempuan dalam lanskap ekstrem.

Tokoh-tokoh seperti Alexandra David-Néel atau Annie Smith Peck, membuktikan bahwa perempuan bukan saja mampu menjelajah medan ekstrem, tetapi juga mengklaim ruang tersebut sebagai bagian dari kapasitas epistemik mereka.

Di Indonesia, perempuan adat telah lama menjalin relasi ekologis dengan gunung, hutan, dan laut bukan sebagai pelintas pasif, melainkan sebagai penjaga sekaligus pelaku utama dalam praktik ekologis komunitasnya.

Maka, asosiasi antara kekuatan fisik dan tubuh laki-laki lebih mencerminkan konstruksi maskulin modern dalam industri wisata daripada realitas antropologis yang beragam.

Lebih jauh, citra perempuan sebagai “rentan secara teknis” tidak terletak pada biologi, melainkan pada sistem pelatihan dan klasifikasi kerja yang diskriminatif secara struktural.

Standar dalam pelatihan pemandu sering kali dibentuk dari metrik kekuatan absolut dan stamina kompetitif, tanpa mempertimbangkan dimensi lain dari kemampuan teknis seperti orientasi medan, manajemen risiko sosial, atau kapasitas perawatan dimensi yang justru menjadi kekuatan para perempuan pemandu Rinjani.

Dalam kerangka ecofeminisme materialis, dikotomi teknis vs emosional atau keras vs lembut adalah produk struktur kerja kapitalistik, bukan realitas biologis. Teori ecofeminisme seperti yang dikembangkan oleh Vandana Shiva, Karen Warren, dan Val Plumwood mengkritik penindasan ganda terhadap alam dan perempuan oleh logika patriarkal, rasionalistik, dan eksploitatif.

Dalam perspektif ini, kerja-kerja merawat, memandu, dan menjelaskan lanskap kepada orang lain bukanlah bentuk inferioritas, melainkan strategi epistemik untuk menyembuhkan keretakan antara manusia dan alam.

Tubuh perempuan tidak rentan karena lemah, melainkan karena dikonstruksi untuk tetap berada di pinggiran oleh sistem yang menutup akses terhadap pelatihan dan legitimasi teknis.

Bukan Penakluk, Tapi Penjaga Relasi Ekologis

Pendekatan RWA bukan sekadar “mengisi posisi laki-laki” dalam dunia kerja, melainkan meredefinisi cara kita memahami relasi kerja, tubuh, dan lanskap. Para guide perempuan ini tidak memosisikan diri sebagai “penakluk alam”, tetapi sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang saling mendukung di mana gunung, hutan, air terjun, dan tubuh manusia saling terhubung dalam relasi etis.

Narasi “ujian kekuatan” terhadap gunung pun perlu dipertanyakan karena ia mereproduksi relasi kekerasan antara manusia dan alam. Gunung dihadirkan sebagai objek yang harus ditaklukkan, bukan sebagai ruang hidup yang harus dirawat.

Hal ini berdampak bukan hanya pada perempuan, tetapi juga pada laki-laki yang terus-menerus dipaksa memenuhi ekspektasi performa ekstrem. Banyak kecelakaan di gunung terjadi karena glorifikasi terhadap stamina, kecepatan, dan dominasi, yang mengabaikan dimensi keberlanjutan, keamanan, dan keterhubungan dengan alam.

Dalam perspektif feminist security studies, ketahanan bukan soal siapa yang paling kuat, tetapi siapa yang mampu membangun relasi ekologis dan sosial yang regeneratif. Maka kehadiran pemandu perempuan di Rinjani bukan hanya membongkar narasi gender dalam kerja ekstrem, tetapi juga mengusulkan epistemologi alternatif tentang bagaimana manusia seharusnya berelasi dengan alam bukan sebagai penakluk, tetapi sebagai penjaga kehidupan.

Dalam paradigma maskulin modern, tubuh yang dihormati adalah yang kuat dan dominan. Dalam pendekatan ecofeminis, tubuh adalah jembatan antara ruang dan pengetahuan—yang merasakan, menghayati, dan menjaga. Guide perempuan Rinjani tidak sedang “menggantikan laki-laki”—mereka sedang membentuk paradigma baru bahwa gunung bukan tempat “ujian kekuatan” tapi ruang belajar dan penghubung antara budaya, alam, dan spiritualitas. Pekerjaan bukan dominasi atas alam, tetapi koeksistensi etis dengannya.

Ruang Kerja, Agensi, dan Perubahan Sosial

RWA adalah contoh nyata bagaimana perempuan menjawab ketimpangan akses kerja. Dalam komunitas agraris seperti Desa Senaru, pilihan ekonomi bagi perempuan sering terbatas pada sektor informal dan domestik. RWA menyediakan pendapatan mandiri bagi perempuan, sekaligus menawarkan dukungan sosial dan edukasi.

Dalam kerangka CEDAW dan ILO tentang pekerjaan layak, inisiatif seperti RWA memperluas makna pekerjaan: bukan hanya sebagai alat ekonomi, tapi sebagai ruang agensi perempuan dan perubahan sosial. Melalui pelatihan, kerja kolektif, dan keberanian menantang norma, mereka tidak hanya membuka akses kerja baru, tetapi juga mendefinisikan ulang makna profesionalisme, keberanian, dan relasi ekologis.

Mereka bukan hanya mendaki gunung. Mereka sedang membongkar sistem nilai yang menempatkan tubuh perempuan sebagai simbol ketidakmampuan. Dalam lanskap Rinjani yang terjal, perempuan membangun ruang politik baru—berbasis pengalaman, keterhubungan, dan keberanian untuk menolak dikerdilkan oleh struktur yang timpang.

Pengetahuan dari Lereng Gunung

Pendakian Rinjani menyimpan risiko tinggi. Medan curam dan cuaca ekstrem menuntut profesionalisme. Kasus kecelakaan pendakian sepanjang Juni–Juli 2025 menegaskan pentingnya pemahaman medan, mitigasi risiko, dan sistem tanggap darurat.

Guide perempuan dari RWA menunjukkan bahwa kompetensi teknis dan kepemimpinan di alam bebas tidak punya jenis kelamin, tapi bertumpu pada perencanaan, edukasi, dan ketahanan holistic baik fisik, mental, maupun sosial.

Rinjani Women Adventure adalah wujud ecofeminisme yang hidup bukan teori abstrak, melainkan praktik keseharian yang transformatif. Mereka menggeser narasi dominasi terhadap alam dan perempuan, membuka akses kerja bagi perempuan di ruang kerja ekstrem, dan menyemai pengetahuan ekologis berbasis tubuh dan komunitas. Rinjani Women Adventure (RWA), mereka tidak hanya hadir sebagai “pendaki”, tetapi sebagai penjaga ruang hidup, pewaris pengetahuan ekologis, dan subjek epistemik lokal.

Di tengah krisis iklim dan ketimpangan sosial global, inisiatif seperti ini tidak hanya layak diapresiasi, tapi juga direplikasi—sebagai model keadilan interseksional antara manusia dan alam.

Tentang Penulis :

Artikel ini ditulis oleh TANTY SR THAMRIN (peneliti pada THAMRIN Working Group, SAR Risk Manager, Instructor Scuba Diving, dan Pilot Paragliding yang senang mendaki gunung). Tulisan ini merupakan bagian dari riset dalam bidang Feminist Security Studies, di bawah Program Studi Ilmu Sosial Program Doktor Universitas Tadulako.

Opini dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi suarakata.id.