Oleh : Mohammad Jafar Bua

Pertengahan tahun 2020 menjadi awal penugasan yang tidak biasa bagi Brigjen TNI Farid Makruf. Ditunjuk sebagai Komandan Korem 132/Tadulako, ia ditugaskan mengendalikan wilayah rawan konflik seperti Poso, Parigi Moutong, dan Sigi. Namun, pandemi Covid-19 membuatnya tertahan selama sebulan sebelum benar-benar bisa memasuki Palu.

Di waktu yang tersisa, Farid mempelajari laporan-laporan strategis dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh kunci, seperti Kolonel Kav Abdul Rahman dan Mayjen TNI (Anumerta) I Putu Dani. Ia juga memantau laporan dua kasus pembunuhan di Poso yang terjadi bulan April 2020, sebuah tanda bahwa konflik belum benar-benar padam.

“Saya sadar, kekosongan selama sebulan bisa menjadi celah yang berbahaya,” ungkap Farid. Ia tahu betul bahwa dalam dunia operasi, waktu adalah musuh terburuk jika tidak dikelola.

Tanggal 29 Juli 2020, Farid akhirnya tiba di Palu. Tak menunggu aba-aba, ia langsung menuju Poso.

Farid mendekati konflik Poso dengan metode yang tak lazim bagi perwira tempur: menyelam ke jantung masyarakat. Ia mendatangi Pemerintah Daerah, pemuda eks-kombatan Muslim, hingga para ustadz di Masjid Al Muhajirin, Kayamanya. Ia mendengarkan keluhan mereka—bahwa negara pernah hadir dengan kekerasan, bahwa luka lama belum sembuh.

Dari para ustadz, Farid mendengar kalimat tajam: “Percuma, Pak Danrem. Mereka yang di atas gunung itu yakin akan dijemput bidadari jika mati.” Tak hanya itu, para ulama juga memendam amarah karena perlakuan aparat terhadap sanak saudara mereka yang pernah dicurigai simpatisan teroris.

Namun, alih-alih membalas dengan retorika militeristik, Farid justru meminta izin untuk memberikan ceramah di masjid itu. Izin diberikan, dan ceramah berlangsung. Ini menjadi momen awal dari pendekatan lunak yang kelak disebut sebagai fondasi Operasi Madago Raya.

Irjen Pol Abdul Rakhman Baso: Rekan Strategis di Garis Depan

Di tengah peralihan strategi dan dinamika operasi, hadir sosok lain yang memainkan peran vital dalam keberhasilan operasi ini: Irjen Pol Abdul Rakhman Baso, yang kala itu menjabat sebagai Kapolda Sulawesi Tengah.

Berpengalaman panjang di bidang reserse dan intelijen, Abdul Rakhman membawa pendekatan yang tenang namun strategis. Kolaborasinya dengan Brigjen Farid Makruf menjadi pondasi solid dalam membentuk format baru operasi penanggulangan teror di Poso—yang tidak semata bergantung pada kekuatan senjata.

“Pak Kapolda sangat terbuka dan menghargai pendekatan kolaboratif. Kami satu frekuensi: ingin mengakhiri konflik, bukan memperpanjang dendam,” ujar Farid dalam satu kesempatan.

Dua pendekar dari dua matra ini, TNI dan Polri, berdiri sejajar, saling mengisi. Farid dengan pendekatan silaturahmi dan pemberdayaan, Abdul Rakhman dengan intelijen dan pelibatan satuan Brimob serta Densus 88 secara presisi.

Madago Raya: Dari Tinombala ke Pendekatan Humanis

 

Pada saat Operasi Tinombala hendak memasuki Tahap IV, muncul usulan untuk mengganti nama operasi. Maka lahirlah Operasi Madago Raya, yang berarti “baik hati” dalam bahasa Bare’e.

Perubahan nama ini mencerminkan pergeseran strategi: dari hard approach ke soft approach, dengan tetap menjaga efektivitas penindakan. Irjen Pol Abdul Rakhman Baso sebagai Penanggung Jawab Operasi dan Brigjen Farid Makruf sebagai Wakil Penanggung Jawab Kendali Operasi (PJKO) membagi peran dengan jelas namun sinergis.

Madago Raya tidak lagi sekadar berbicara tentang pengejaran. Ia bicara soal membangun kembali rasa percaya masyarakat, merangkul eks-kombatan, dan melibatkan tokoh agama sebagai mitra deradikalisasi.

“Operasi ini bukan hanya menurunkan orang dari gunung, tapi juga menyentuh hatinya,” kata Irjen Pol Abdul Rakhman Baso dalam sebuah briefing internal.

Dengan wilayah operasi yang luas dan jumlah pasukan yang minim, Farid menyusun telaahan staf untuk mengajukan pelibatan lebih besar dari Korem dalam operasi. Ia kemudian menghadap Pangdam XIII/Merdeka, Mayjen TNI Santos Gunawan Matondang, dan selanjutnya menyurati langsung KASAD Jenderal TNI Andika Perkasa serta Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto.

Saat yang sama, Irjen Abdul Rakhman juga menjalin komunikasi intensif dengan Kapolri dan jajaran Mabes Polri untuk mendukung aspek penindakan yang lebih cermat namun terukur.

Gayung bersambut. Bupati Poso, Gubernur Sulawesi Tengah, hingga Presiden RI menyepakati penambahan personel. Dari sini, Operasi Madago Raya berjalan dengan daya dukung maksimal dari pusat hingga daerah.

Kombinasi militer dan polisi, pendekatan kultural dan struktural, serta strategi penindakan dan deradikalisasi membuat Operasi Madago Raya menjadi salah satu model penanganan konflik bersenjata yang paling komprehensif dalam sejarah Indonesia modern.

Farid dan Abdul Rakhman dikenal sebagai duet yang seimbang: satu mewakili kekuatan sosial, satu lagi mewakili kekuatan hukum.

“Saya belajar dari Pak Kapolda, bahwa ketenangan bisa lebih kuat daripada suara tembakan,” ucap Farid.
Sementara itu, Abdul Rakhman juga mengakui, “Tanpa sentuhan kemanusiaan yang Pak Danrem bawa, operasi ini tidak akan memiliki hati.”

Operasi Madago Raya bukan hanya nama operasi. Ia adalah simbol dari strategi baru, yang menempatkan manusia sebagai pusat keamanan.

Brigjen TNI Farid Makruf dan Irjen Pol Abdul Rakhman Baso menjadi dua nama yang dicatat sejarah, bukan hanya karena keberhasilan operasi mereka, tetapi karena keberanian mereka memilih jalan yang tak biasa: jalan yang pelan, tapi menyembuhkan.

Bersambung…