Oleh : Tanty SR Thamrin

Rescuer ya Rescue

Agak berbeda dengan peran dalam sektor keamanan dan keselamatan lainnya, Rescuer bekerja menantang batas kemampuan fisik manusia, menguji ketahanan mental, dan mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Bidang Search and Rescue (SAR), merupakan salah satu domain keamanan dan keselamatan yang membutuhkan kombinasi unik: ketahanan fisik, kecakapan teknis, kecepatan pengambilan keputusan di bawah tekanan, serta kepemimpinan yang tangguh.

Rescuer adalah spirit dan laku untuk memastikan setiap nyawa berharga. Mengulurkan tangan, memperjuangkan hak hidup, bahkan saat kematian – jasad tetap dihormati dan berusaha ditemukan dan dikembalikan kepada keluarganya. Rescuer adalah manusia yang melangkah ke lokasi berbahaya saat manusia lain menghindarinya.

Semua Rescuer (tanpa membedakan jenis kelamin) menjalani pendidikan dan pelatihan yang sama; tidak ada kurikulum berbeda untuk laki-laki atau perempuan. Standar kualifikasi rescuer berbasis kompetensi, bukan berbasis jenis kelamin, olehnya secara teknis tidak ada istilah rescuer perempuan atau rescuer laki-laki. Rescuer ya rescuer, jenis kelamin tidak menjadi membeda kualifikasi. Namun, secara sosial dan advokasi gender, istilah “rescuer perempuan” kadang dipakai media/NGO untuk menonjolkan representasi perempuan di bidang yang didominasi laki-laki. Ini bukan istilah teknis, melainkan label sosial.

Vignette: Kak Yus & Ria

Pada Januari 2015, penulis sempat bertemu dengan Yusniar Amara, Instruktur Selam dan rescuer Basarnas, di atas KN Purworejo saat misi Operasi SAR Air Asia QZ8501 yang hilang dari radar pada tanggal 28 Desember 2014. Kak Yus, begitu biasa dia disapa waktu itu berbasis di Aceh, diterjunkan untuk mencari jenazah korban pesawat AirAsia QZ8501.

Saat bertemu, Kak Yus dan tim penyelam Basarnas baru saja melakukan penyelaman di sektor pencarian di Selat Karimata. Saat itu, di atas KN Purworejo, hanya terdapat dua penyelam rescue perempuan, yakni Kak Yus dan penulis. Kami sempat ngobrol sedikit soal kondisi lokasi penyelaman dengan gelombang tinggi, arus di bawah sangat kuat, dan zero visibility.

Dari interaksi dengan tim selam Basarnas, BSG (Basarnas Special Group), dan IDRT (Indonesia Divers Rescue Team), jelas terlihat kualifikasi dan ketangguhan Kak Yus dalam operasi tersebut menuai respect sejawat, begitupun senior dan juniornya.

Agutus 2025, penulis kembali bertemu dengan seorang rescuer Basarnas, sesama perempuan, dalam misi survey keamanan dan keselamatan jalur pendakian Gunung Rinjani. Ria, salah seorang rescuer dari Kansar Mataram yang ikut dalam banyak operasi SAR di Gunung Rinjani, salah satunya proses evakuasi Juliana Maris. Perannya memang tidak tersorot media, begitulah cara kerja tim rescue Basarnas yang memang bekerja dalam senyap.

Bagi yang paham bagaimana sebuah operasi SAR berlangsung, tentunya tidak perlu dijelaskan lagi bahwa dalam sebuah operasi SAR, kerja-kerja senyap dan cepat adalah nyawa dari operasi SAR itu sendiri.

Jika bersama Kak Yus – penulis tidak sempat menjadi buddy selama penyelaman, sebab kami ditempatkan pada tim selam yang berbeda lokasi, bersama Ria – penulis berkesempatan menjadi buddy dalam pendakian Rinjani di malam hari.

Dalam tim survey yang terdiri atas 5 orang, hanya Ria dan Khafid yang berasal dari Kansar Mataram dan berpengalaman bolak balik naik turun Rinjani dalam Operasi SAR. Selama pendakian, terlihat secara alamiah Ria dan Khafid sering bertukar peran.

Kadang Khafid menjadi Leader dan Ria mengambil posisi Sweeper, dan sebaliknya, Ria mengambil posisi Leader dan Khafid menjadi Sweeper. Pendakian malam dengan medan ekstrem, bertukar peran dengan posisi kontrol seperti itu membutuhkan keahlian, pengalaman, dan pengenalan medan. Tidak diragukan, keduanya sudah saling mengenal kemampuan dan kualifikasi masing-masing dan saling percaya.

Khafid adalah senior setahun dari Ria, dan dalam interaksi selama pendakian jelas terlihat Khafid mempercayai kualifikasi Ria, tidak ada keraguan. Interaksi menjaga keamanan team selama pendakian terlihat jelas walau dalam senyap. Respect dan saling dukung antara senior-junior.

Dari interaksi di lapangan, penulis mengamati enabling environment  (lingkungan yang memampukan) bagi staf perempuan yang memilih menjadi rescuer juga terlihat dari instructor senior di Kansar Mataram bahkan Kakansar sendiri.

Dua pengalaman penulis ini sangat menarik. Mengapa? Sebab di Indonesia, dari beberapa kajian yang penulis lakukan tentang perempuan yang bekerja di sektor keamanan dan keselamatan, baik di maritim maupun darat masih menghadapi tantangan struktural, kultural yang signifikan, dan tidak tersedianya enabling environment bagi perempuan yang bekerja di sektor ini .

Perempuan dan Posisi Rescuer: Antara Akses Formal dan Hambatan Nyata

Secara kelembagaan, BASARNAS membuka jalur rekrutmen rescuer tanpa diskriminasi gender. Setiap pelamar, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki peluang yang sama untuk lolos seleksi dan ditempatkan di unit lapangan.

Hal ini menandai kemajuan penting dibandingkan kecenderungan umum di sektor keamanan dan keselamatan, yang secara global lebih sering menempatkan perempuan di fungsi administratif, dukungan logistik, atau community engagement ketimbang frontline operations (UN Women, 2015; OSCE, 2019).

Namun, keterbukaan prosedural tidak otomatis menghasilkan partisipasi setara. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang memilih jalur rescuer tetap sangat kecil.

Data kelembagaan terbaru menunjukkan bahwa per 2024 BASARNAS memiliki total 3.960 ASN, terdiri dari 3.294 laki-laki dan 666 perempuan (16,8%) [BASARNAS, Infografis 2024]. Akan tetapi, dokumen resmi yang dapat diakses publik—termasuk Laporan Kinerja BASARNAS 2024—tidak merinci jumlah rescuer aktif berdasarkan jenis kelamin. Data yang ada hanya menyebut formasi CPNS rescuer tahun 2024 sebanyak 1.282 orang dari total 1.389 formasi, menandakan fokus penguatan lini operasi. Meski demikian, angka tersebut adalah kuota rekrutmen, bukan jumlah personel yang sedang aktif.

Dari sisi pengembangan kapasitas, BASARNAS mewajibkan seluruh staf baru new recruit, baik laki-laki maupun perempuan, mengikuti pelatihan dasar SAR. Pelatihan ini memastikan setiap ASN BASARNAS memiliki keterampilan dasar pencarian dan pertolongan, terlepas dari unit kerja atau jabatan yang dipilih kemudian.

Bagi mereka yang memilih jalur rescuer, pelatihan dilanjutkan secara teknis, bertahap, bertingkat, dan berkelanjutan. Mekanisme ini menegaskan bahwa secara formal tidak ada perbedaan standar antara rescuer laki-laki dan perempuan: semua diwajibkan memenuhi syarat kompetensi yang sama.

Secara teknis, dalam struktur organisasi tidak ada pembedaan rescuer laki-laki dan perempuan: semua penyelamat memiliki status dan fungsi yang sama. Namun, dari perspektif analisis kebijakan publik dan kesetaraan gender, ketiadaan data terpilah (gender-segregated data) menjadi masalah tersendiri. Tanpa informasi yang jelas tentang berapa banyak perempuan yang benar-benar berada di posisi rescuer, sulit menilai sejauh mana keterbukaan formal rekrutmen benar-benar menghasilkan kesetaraan substantif di lini operasi.

Women Leadership in Safety and Security Sector: Kompetensi, Legitimasi, dan Trust

Dalam literatur tentang kepemimpinan perempuan di sektor keamanan dan keselamatan (Carreiras, 2018; Hudson, 2021), kapasitas perempuan biasanya diuji dalam tiga dimensi utama:

  •  Kompetensi teknis. Rescuer harus menguasai keterampilan navigasi, rope rescue, water rescue, pertolongan medis darurat, hingga operasi SAR maritim. Perempuan yang menempuh jalur ini menjalani pelatihan dasar dan lanjutan yang sama dengan rekan laki-laki, termasuk survival di laut dan gunung.

Legitimasi operasional

Keberhasilan di lapangan memperkuat legitimasi, sekaligus mengurangi bias yang meragukan kapasitas fisik perempuan.

• Trust dan team cohesion. Kepemimpinan SAR tidak hanya soal pangkat, tetapi juga kepercayaan tim untuk mengikuti instruksi dalam situasi darurat. Perempuan yang berhasil memimpin operasi berisiko tinggi sering mendapat pengakuan dari senior maupun junior.

Dalam banyak institusi keamanan dan keselamatan, budaya kerja yang cenderung maskulin mendorong penempatan perempuan di posisi administratif atau dukungan logistik, bukan di frontline operations. Namun, pola ini tidak berlaku di BASARNAS. Secara kelembagaan, BASARNAS mewajibkan semua staf baru—baik laki-laki maupun perempuan—untuk melalui pelatihan dasar SAR yang sama, dan membuka kesempatan setara bagi mereka yang memilih jalur operasional sebagai rescuer. Artinya, secara formal tidak ada diskriminasi gender dalam akses ke fungsi operasional, meskipun realitas partisipasi perempuan tetap terbatas karena faktor struktural, kultural, dan sosial di luar mekanisme rekrutmen resmi.

Hambatan struktural masih membatasi peluang perempuan, mulai dari standar pelatihan dan sertifikasi yang seragam yang kurang sensitif terhadap kebutuhan fisiologis, hingga seleksi pelatihan lanjutan yang kadang dipengaruhi bias gender. Di sisi lain, keterbatasan infrastruktur operasi—seperti ruang dan fasilitas sanitasi yang tidak ramah bagi perempuan—membatasi keikutsertaan mereka dalam penugasan jangka panjang. Tantangan ini semakin berat ketika bertemu dengan faktor sosial, seperti kebutuhan dukungan keluarga dan lingkungan, yang menentukan keberlanjutan perempuan dalam pekerjaan dengan risiko tinggi dan jam kerja tidak menentu.

Alhasil, meskipun akses formal dari organisasi telah tersedia, keterwakilan perempuan di posisi rescuer tetap rendah.
Kesenjangan ini dibentuk oleh kombinasi faktor struktural, kultural, dan praktis: norma gender yang masih menganggap pekerjaan berisiko tinggi sebagai domain laki-laki, absennya role model, yang membuat perempuan kerap merasa terisolasi, serta beban ganda antara tanggung jawab domestik dan tuntutan operasional.

Namun, persoalan ini juga membuka ruang untuk pandangan alternatif yang lebih positif.

Pertama, kesetaraan pelatihan BASARNAS memberi fondasi bahwa secara kompetensi teknis perempuan mampu memenuhi standar rescuer.

Kedua,perubahan kebijakan infrastruktur dan pola kerja yang lebih inklusif dapat menjadi jalan untuk mengurangi hambatan partisipasi.

Ketiga, menghadirkan role model perempuan dalam operasi besar dapat membangun legitimasi sekaligus menarik lebih banyak kandidat baru. Dengan demikian, isu utama bukan semata pada apakah pintu masuk terbuka, melainkan apakah ekosistem pendukung tersedia untuk memastikan perempuan dapat bertahan, berkembang, dan bahkan memimpin secara efektif di sektor keamanan dan keselamatan, khususnya Search and Rescue.

Perempuan dalam frontline Operasi Search and Rescue
Mengacu pada kerangka gender analysis di sektor keamanan dan keselamatan (UN Women, 2015; OSCE, 2019), posisi Kak Yus dan Ria dapat dibaca melalui empat dimensi penting. Dari aspek partisipasi, keduanya memang menjadi minoritas di lapangan, namun kehadiran mereka justru membuktikan bahwa perempuan mampu menjalankan peran dengan risiko tinggi secara setara dengan laki-laki.

Pada aspek perlindungan, perlu diingat bahwa lingkungan kerja SAR sarat dengan risiko fisik maupun psikologis, sehingga kebijakan perlindungan berbasis gender harus diterapkan tanpa mengurangi peluang perempuan untuk tetap terlibat dalam operasi inti. Dari sisi pencegahan diskriminasi, reformasi budaya kerja menjadi kunci untuk menghapus bias penempatan yang cenderung menempatkan perempuan di posisi administratif, bukan operasional. Terakhir, pada aspek transformasi kepemimpinan, Kak Yus dan Ria tampil sebagai agen perubahan yang menggeser persepsi tentang kepemimpinan perempuan, dari sekadar “support role” menuju pengakuan atas kapasitas mereka dalam operational leadership.

Dengan demikian, pengalaman keduanya tidak hanya bersifat individual, tetapi juga membuka jalan bagi perubahan struktural yang lebih inklusif di sektor keamanan dan keselamatan.

Pengalaman Kak Yus dan Ria bukan hanya mencerminkan dedikasi personal, tetapi juga memberi potret penting tentang dinamika gender, kepemimpinan, dan inklusi di sektor ini. Kak Yus dan Ria menunjukkan bahwa dukungan institusional dari BASARNAS dan mentor senior dapat menjadi faktor penentu keberhasilan perempuan di sektor keamanan dan keselamatan. BASARNAS membuka ruang posisi rescuer tanpa diskriminasi jenis kelamin dan menerapkan pelatihan dasar yang sama bagi semua staff recruit, sehingga membangun fondasi kompetensi yang setara. Dukungan senior di BASARNAS sebagai enabling environment (lingkungan yang memampukan) juga membantu memotong resistensi budaya dan memberi role model, untuk generasi berikutnya.

Kak Yus dan Ria bukan hanya rescuer berpengalaman, tetapi juga simbol kepemimpinan perempuan di sektor keamanan dan keselamatan yang sarat risiko. Keberadaan mereka membantah anggapan bahwa kemampuan fisik dan teknis dalam operasi SAR adalah domain eksklusif laki-laki. Namun, kisah Kak Yus dan Ria juga menyoroti bahwa keberhasilan individu saja tidak cukup; dibutuhkan dukungan reformasi struktural dalam pelatihan, infrastruktur, kebijakan penempatan, lingkungan yang memampukan dan budaya organisasi untuk memastikan lebih banyak perempuan dapat mengambil peran di garis depan sektor keamanan dan keselamatan.

Penulis: TANTY SR THAMRIN (peneliti pada THAMRIN Working Group, SAR Risk Manager, Instructor Scuba Diving, dan Pilot Paragliding yang gemar mendaki gunung). Tulisan ini merupakan bagian dari riset dalam bidang Feminist Security Studies, di bawah Program Studi Ilmu Sosial Program Doktor Universitas Tadulako.