Pagi itu, Minggu, 7 September 2025, udara di Pasar Tanah Merah, Bangkalan, masih lembap oleh embun. Di antara riuh suara tawar-menawar dan aroma kopi hitam dari kedai seberang, seorang pria berkaos oblong dan bercelana pendek berjalan santai menuju sebuah warung kelontong kecil. Dari kejauhan, senyumnya sudah merekah.

Pria itu bukan sembarang orang. Ia adalah Mayjen TNI Dr. Farid Makruf, M.A., jenderal yang kini mengemban amanat sebagai Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Sumber Kekayaan Alam di Lemhannas. Namun di tanah kelahirannya, pangkat hanyalah lapisan tipis yang ditanggalkan begitu kakinya menapak di jalan pasar.

“Setiap pulang, saya selalu singgah di sini. Duduk bersama ibu, bercanda, seakan kembali ke masa kecil,” ucap Farid sambil tertawa kecil, matanya menyipit penuh kehangatan.

Warung Kecil, Kenangan Besar

Di warung sederhana itu, ibunya yang paruh baya duduk di bangku kayu. Wajahnya sumringah menyambut anak lelaki yang kini dikenal sebagai salah satu perwira tinggi TNI. Sesekali, keduanya saling lempar gurauan. Warung yang hanya berjarak seratus meter dari rumah itu, bagi Farid, tidak hanya sekadar tempat berdagang. Ia adalah penanda jejak masa kecil, ruang ingatan yang tak lekang.

“Saya sudah sering meminta ibu berhenti berdagang, tapi beliau menolak. Katanya, ini bukan hanya soal mencari uang, tapi hobi. Kalau saya larang, sama saja melarang ibu saya bahagia,” ujarnya pelan.

Farid kemudian mengenang masa kecilnya. “Sejak kelas 4 SD, saya biasa bantu ibu buka-tutup warung. Kadang saya anterin barang-barang dagangan bumbu, kecap, minyak ke warung-warung kecil yang jadi pelanggan ibu. Sebagai gantinya, saya sering dapat sate dari mereka. Rasanya sederhana, tapi sampai sekarang masih membekas,” katanya, tersenyum tipis.

Pelajaran Hidup dari Orang Tua

Dari pengalaman menunggu warung kecil itulah, Farid mendapat pelajaran besar tentang hidup.

“Dari menunggu toko ini, kedua orang tua saya mengajarkan bagaimana perjuangan hidup untuk mencari nafkah yang halal, berniaga dengan jujur. Bapak ibu selalu menekankan nilai-nilai kejujuran, tidak mau mencari untung besar dengan jalan pintas dan tidak halal. Jangan mau korupsi, pendapatan itu lebih baik sedikit tapi halal dan barokah. Nilai-nilai itu yang saya bawa sampai sekarang,” tuturnya.

Ia bercerita pula, dulu sempat berniat membangun warung itu menjadi toko besar. Namun ayahnya menentang. “Mereka tidak mau menyusahkan anaknya. Walaupun saya memohon berkali-kali, mereka tetap bersikeras. Akhirnya saya ikuti saja. Bagi saya, melihat mereka senang itu sudah cukup.”
Kalimatnya meluncur seperti sebuah renungan yang berlapis, pangkat setinggi apapun tak pernah mampu mengganti restu dan kehendak orang tua.

Seorang Anak di Hadapan Orang Tuanya

Di rumah sederhana di Petrah, tak jauh dari warung itu, suasana terasa akrab. Farid kerap terlihat mendorong kursi roda ayahnya yang lumpuh akibat stroke. Tangannya kokoh namun gerakannya lembut, memastikan setiap roda berputar mulus tanpa guncangan.

“Pintu surga saya ada pada kedua orang tua,” katanya lirih, menatap wajah ayahnya.

Bagi pasukannya, Farid adalah komandan yang pernah memimpin operasi besar, dari memburu Ali Kalora di Poso hingga membangun 47.000 rumah bagi korban gempa Lombok. Ia juga pernah mengibarkan bendera Indonesia di forum internasional saat ditugaskan ke Sierra Leone. Namun di hadapan orang tuanya, ia hanyalah Farid, anak yang pulang setiap akhir pekan demi menginap sehari semalam di sisi mereka.

“Setinggi apapun jabatan, di depan orang tua kita hanyalah seorang anak,” ujarnya mantap.

Di ruang tamu, ia sering duduk bersila di lantai, mengajak ayahnya bercanda.

Pelukan yang Menjadi Kemenangan

Perjalanan hidup Farid memang panjang. Dari lorong sempit desa di Madura, ia menapaki jalan hingga panggung internasional. Lulus dari SMA 1 Bangkalan, masuk Akademi Militer, meraih gelar Master di Inggris, hingga menyelesaikan Doktor dengan predikat hampir sempurna. Jejak pengabdian membawanya ke berbagai medan Sierra Leone, Lombok, Poso, hingga menjabat Pangdam V Brawijaya.

Namun bagi Farid, semua pencapaian itu bukanlah klimaks. Puncak tertinggi dalam hidupnya justru ketika ia bisa memeluk orang tua.

“Saya berdiri di sini bukan karena keajaiban, tapi karena kerja keras dan doa orang tua,” ujarnya, tersenyum.

Di warung kelontong kecil itulah, cerita seorang jenderal menemukan maknanya. Warung yang mungkin tampak biasa di mata orang lain, justru menjadi panggung paling penting bagi Farid, tempat ia bisa kembali menjadi anak, bercanda dengan ibunya, merawat ayahnya, dan mengingatkan dirinya bahwa pangkat hanyalah gelar, sedangkan cinta orang tua adalah kemenangan yang sesungguhnya. (*)